Sampai harus chat banyak dulu dan gak jelas, baru dilihat. Itu juga karena terpaksa, apaansih ini dia? Gak jelas banget. Ucapnya putri dalam hati sambil
buka chatnya.
Gerutu tak berkesudahan sampai juga ke
jemarinya. Seperti disuruh, jempolnya pun enggan untuk membuka pesan singkat
dari Pangestu. Seperti ada sihir yang datang dari otak ke jemarinya sudahlah gausah dibaca, gapenting juga, yang
lain aja, tuh ada si dia, bales dia aja, kalo si dia yang itu mah nanti aja gampang
alasannya, cingcailah. Nampaknya jempolnya mengangguk yang menandakan bahwa
ya, aku setuju.
Satu sisi mungkin hatinya Putri sedang berbunga
lantaran ada “seorang” yang datang bak seorang pangeran. Dari sisa-sisa sakit
yang dialami putri, dia merasa kedatangan Arjuna merupakan obat baginya. Ya,
obat penyakit dalam yang dideritanya akibat harapan yang tak jelas ujungnya. Sehingga
kapanpun obat itu ada, segeralah pikiran dan arahan itu datang seraya berkata, minumlah.
Tentunya minum dalam arti, sambutlah dia,
ibarat pesan singkat, ya baca lah, balas
pesannya dia, dia datang untukmu putri. Suara itu bisik-bisik dalam hati
terdengar sampai ke jempolnya.
Lain Arjuna lain Pangestu. Putri itu egois,
hanya Arjuna yang selalu dibacanya, dibalasnya, sampai-sampai jika lama tak
kunjung datang pesannya, tetap setia ditunggunya pesan itu untuk datang. Ah selucu
itukah sifat Putri? Gumam Pangestu dalam hati Sambil tetap meyakinkan dirinya
bahwa dialah yang pantas untuk Putri.
Pede, jelas…. Cuma kepedean yang dak bagus. Nah
itu lah sifat buruk yang selalu timbul dari diri Pangestu. Tapi jika kita ada
diposisi Pangestu mungkin itu adalah sebuah motivasi bahwa tidak ada yang tidak
mungkin jika kita mau untuk terus berusaha. Bukankah cinta itu butuh
perjuangan? Bukan hanya sekedar hayalan.
Putri yang sedang ada diposisi kesakitan lantaran panah jahat yang dihembuskan oleh Dirgantara pasti sedang mencari dan cari penawar luka tusuk agar cepat tersembuhkan. Dan sepertinya hatinya lebih condong untuk mengikuti pikirannya dengan mengambil obat yang ada pada Arjuna.
Arjuna dengan segala ke-mewahan, ke-gagahan,
ke-baikan, ke-royalan, ke-satriaan, ke- dan ke- tidak tahu menahu bahwasannya bukan
hanya dia saja yang datang dan mencoba menjadi obat penawar luka Putri,
melainkan ada Pangestu yang juga cocok sebagai penawar luka yang ada dihati Putri.
Ya, Arjuna tidak tahu bahwa ada rival yang bernama Pangestu.
Dengan segala “ke-“ yang ada pada diri Arjuna
bukan tidak mungkin dan nampaknya memang terlihat bahwa Putri itu lebih
tertarik dengan Arjuna ketimbang Pangestu. Kebalikan Arjuna, Pangestu sudah
mengetahui bahwa bakal ada “obat” baru yang datang untuk mengubur rasa yang
pernah ada dalam hati Putri kepada Dirgantara. Ya, Arjuna lah Namanya. Dengan segala
kekuatannya, daya upaya Pangestu yang selalu tercurahkan pada Putri layaknya
Pak Polisi dengan masyarakatnya. Siap
melayani dan mengayomi begitu katanya. Tak kenal siang tak kenal malam, tak
kenal lapar tak kenal kenyang, tak kenal gelap maupun terang, yang ada usaha
dan usaha agar bisa cepat menyembuhkan Putri. Dibalik persaingan ini ada tanda
tanya besar yang seharusnya mereka berdua harus sadari dan pikir dengan matang,
apakah aku layak dipilih oleh Putri untuk menjadi obat luka yang ada dalam
dirinya? Jika iya, dan jika Putri sudah sembuh dari luka, apakah Putri tetap
memerlukan obat? Bukankah obat diperlukan hanya ketika sakit? Setelah sehat
orang-orang sepertinya tidak ada yang menikmati obat lagi dalam kesehariannya.
Komentar
Posting Komentar